Selasa, 24 Maret 2015

WEDUS CAP KIRIK



WEDUS CAP KIRIK
Oleh : KH Yusuf Chudlori


Dikisahkan, ada pemuda penngangguran yang suka nongkrong di gardu ronda sebuah desa. Dasar pengangguran, kerjaanya suka usil bahkan merugikan orang lain. Pendek kata, mereka bisa disebut gali atau preman kelas kampong.
Suatu hari, seorang yang dianggap pemimpin berkata, dia pingin makan sate kambing tapi tidak punya uang. Maka diputarlah otaknya, lalu mengajak teman-temanya sesame pengangguran.
 “Kang sampean kabeh gelem ra, mangan sate. Sate cempe sing kaya nang warung biasa kae, nanging ora usah mbayar alias gratis.” Ujar si preman yang dituakan kepada teman-temanya yang telah dikumpulkan di prondan.
“Yo gelem to, Seneng. Piye carane nyate tanpa duit.” Ujar teman-temanya serempak.
“Gampang. Manut aku kabeh. Mengko tak bagi tugas, sing intine kudu nirokake lan mbenerke omonganku,” ujarnya lalu mengatur strategi dan membagi job untuk masing-masing temanya.
Esoknya, sesuai rencana, kawanan gali ini menyasar targetnya. Si Ucil, bocah angon yang sedang membawa kambing mudanya ke pasar, dibarengi seraya disapa: “Kang Ucil, Arep sampean gawa ngendi kirik kuwi?”, ucap si pemimpin gali.
 “Matamu meleko kang. Iki wedus, dudu kirik,”sergah ucil dengan nada marah.ia pun mengomel-omel tak terima kambingnya disebut anak anjing.
Sampai di batas desa menuju cegatan Kol (Mitsubishi Colt – angkutan bak terbuka yang sangat popular di desa), Ucil disapa seseorang lagi.
“Wah, kirikmu apik kang. Arep digawa ngendi?”
Lagi lagi Ucil sewot, Dia semprot orang yng menyebut kambingnya sebagai anak anjing.
“ndasmu gemblung. Iki wedus, cempe lawas, dudu kirik. Lambemu kuwi, kang,” sergahnya marah.
Ketika hendak dinaikan ke kol, ada lagi orang yang menyapa dirinya. “Kang Ucil, Kirikmu tak tukune yo. Rasah di dol nang pasar.”
Sekali lagi, Ucil muntab. Tapi dia jadi ragu-ragu untuk mendamprat penyapa ke tiga. Pikiranya kini jadi bimbang. Berkecamuk syak wasangka. Lantas di ilang-iling (diamati) hewan yang sedang dia tuntun dengan tali itu.
“Dus, Wedus. Kowe iki jane wedus tenan pora? Kok wis ana wong telu ngarani kowe kirik…!” begitu ucap dia lirih sambil tangan kananya mengusap-usap muka satwa gembalanya itu.
Masih dalam kekacauan pikiran Ucil melanjutakan tujuan utamanaya pergi. Yaitu menjual hewan piaraanya di pasar. Sepanjang perjalanan naik kol, Ucil gelisah.  Gundah gulana seperti hati perjaka yang sedang jatuh cinta pada perawan desa.
“aja-aja mengko nang pasar, wong-wong pada ngarani-ngarani wedusku iki kirik,” gumam Dia dalam hati.
Apa yang dia kwatirkan rupanya terjadi. Sejak si kambing diturunkan dari kol contang hingga dia turun kedalam pasar hewan, tiga orang secara tidak bersamaan menawar beli hewanya itu tapi dengan sebutan kirik.
“Mas, arep sampean dol pira kirikmu kuwi? Tak tukune yoo,” ucap seorang pertama.
Kang, Kirikmu kuwi regane pira?nek langung tak tuku aku piye?rasah mbok tawake wong liya,” kata orang kedua didalam pasar.
Ucil masih terus berjalan tanpa menjawab sapaan dua orang tersebut. Dia cuek saja karena masih tidak terima sebutan kirik untuk kambingnya. Tetapi tidak bisa dia pungkiri, hantinya dilanda kebimbangan. Pikiranya dilanda kebingungan.
Ditengah puncak kebingunggan itu, tiba-tiba seorang lelaki bercaping menepuk pundaknya.
“Eh, Kang Ucil. Sampean ko tumben nang pasar hewan. Kirikmu iki arep mbok dol ta ? tak tuku aku wae yoo. Sa yuto (satu juta rupiah), “Ucap Si Pria yang ternyata dia kenal.
Setelah enam orang berbeda mengatakan kambingnya kirik, apa lagi yang terahir ini teman yang dia kenal sejak kecil, Ucil akhirnya menyerah. Disimpulkan, kambingnya itu bukan kambing, melaikan anak anjing. Percuma dirinya kukuh menyatakan hewan itu kambing, toh nyatanya semua orang menyebut bahwa itu kirik alian anake asu alias segawon enom.
“Ya Sudahlah. Bagaiman lagi, ternyata yang ku bawa ini anak anjing. Bukan kambing,” gumam dia pasrah.
Piye kang Ucil? Kirikmu tak tukune yoo? Aku wani Rp 500 ewu,”  ujur si teman menyadarkan lamunan Ucil.
Dasar Ucil orang tau agama, dan dia mengerti bahwa kirik itu mengandung najis, menurut fiqh tidak sah kalau dijual, maka Dia pilih berikan saja kepada temanya itu dengan pasrah.
“Yo wis kang.Kiriku iki ra usah mbok tuku. Pek’en wae ora halal nek tak dol,”  saut Ucil seraya menyerahkan tali hewan kepenawar terahir itu.
Ucil pun segera Pulang dengan langkah lunglai, sambil terus berusaha melupakan peristiwa yang baru saja dialaminya.
“Horeee … Kita makan sate gratis sekarang. Mari berpesta  Nyate Wedus Cap Kirik,”  Sorak Pemimpin gali kampong itu setelah semua temanya berkumpul di tempat yang telah disepakati. Semua tertawa penuh kemenangan.

BEGITULAH GAMBARAN KEADAAN SEKARANG, MULAI BANYAK YANG MENGATAKAN TAHLIL, MAULID, WIRIDAN, SHOLAWATAN ITU BID’AH, SESAT, DAN HARAM. JIKA DIKATAKAN BERULANG-ULANG TERUS- MENERUS, MASYARAKAT BISA TEREPENGARUH. MINIMAL MENJADI RAGU ALIAS BIMBANG ATAS APA YANG SELAMA INI DIYAKINI BENAR. WASPADALAH WASPADALAH WASPADALAH !!! (Ew. Ich.)SUARANU/edisi Maret/2015,